Di suatu masa… ketika dua anakku cowok berusia setahun dan tiga tahun, masih lucu-lucunya dan masih cerewet-cerewetnya. Setiap hari ada saja yang ditanyakan atau dijadikan bahan obrolan. Sebenarnya aku lelah sepulang kerja, harus mendengarkan pertanyaan dan ceritanya. Tetapi lelahku hilang menanggapi celoteh mereka. Sang kakak agak mengalah pada adiknya, karena adiknya selalu mendominasi cerita pada bundanya.

Di keluarga kami, pelajaran sholat sudah dimulai dari kecil. Maka tak heran, anak-anaku cowok yang imu-imut itu, saya buatkan sarung sholat seperti rok untuk sholatnya masing-masing. Dengan baju koko dan sarung serta peci mungilnya yang berwarna putih-hitam, dua jagoanku itu selalu dibiasakan sholat berjamaah di mesjid. Sang kakak sudah biasa diajak ayahnya untuk mengikuti sholat jama’ah di mesjid yang berjarak 200 meter itu. Sang adik agak jarang diajak karena terkadang ketiduran.

Suatu sore pulang dari kantor menjelang magrib. Akhirnya, aku ajak anak-anak bersiap-siap sholat berjama’ah di rumah saja, karena ayahnya masih di kantor. Aku memimpin sholat, sebelumnya aku minta sang adik untuk mengucapkan iqomah. “Ayo, Salman kamu yang Qomat nak,” kataku kepada sang adik. Spontan sang adik mengucap, “Ayo qomat, ayo qomat….” Hehehe… tersenyumlah aku, lalu aku katakan, “Bukan begitu, Salman. Qomat itu begini, Ayo ikuti mama... Allahu akbar, allahu akbar, asyhadu anlaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhammadar-rasuulullah, hayyaa ‘ala sholaah, hayyaa ‘alal fallaah, qodqoomatis sholah, qodqoomatis sholah… Allahu akbar-allahu akbar, laa ilaaha illallah…”

#H-146_ Depok, 12 Juni 2020_Pentigraf.